Sejarah Singkat
Daerah Buton Tengah merupakan bekas wilayah Kerajaan dan Kesultanan Buton yang telah eksis sejak zaman dulu. Pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6 dan juga Sultan Buton ke-1 bernama Murhum, rakyat Gu dan Mawasangka diriwayatkan patuh dan setia kepadanya. Ikatan emosional Gu dan Mawasangaka terhadap Buton semakin kuat setelah Murhum berhasil membela negeri mereka. Ketika kembali ke Buton, Murhum turut membawa “syara-pancana” dan kemudian Gu dan Mawasangka diberinya nama “Paincana” selaku tanda kemenangan Murhum. Nama ini kemudian lekat untuk menggambarkan kedua etnis di Buton Tengah tersebut dengan sebutan pancana atau pancano [3].
Keberadaan Buton Tengah juga tertuang pada Undang-Undang Murtabat Tujuh (sekitar tahun 1610), yakni undang-undang Kesultanan Buton pada masa Sultan Buton ke-4, La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin). Disebutkan bahwa Kesultanan Buton terdiri atas 72 kadie yang diduduki oleh 30 menteri dan 40 bobato. Sedangkan sisanya menandakan kaum yang memegang pemerintahan di pusat. Dari 70 bagian tersebut dibagi lagi menjadi dua bagian besar yakni Pale Matanayo dan Pale Sukanayo. Lakina Lakudo, mengepalai wilayah Kadolo, Lawa, Tangana-lipu, Tongkuno, Gu, Wongko Lakudo, dan Wanepa-nepa (Distrik Gu). Lakina Bombonawulu menduduki wilayah Bombonawulu-kota, Rahia, Wakea-kea, Uncume, Wongko-bombonawulu (Distrik Gu). Kedua lakina tersebut merupakan kadie di wilayah Pale Matanayo.
Di wilayah Pale Sukanayo, Menteri Peropa mengepalai beberapa wilayah salah satunya Ballo di Distrik Kabaena (termasuk wilayah Talaga saat ini), Menteri Gundu-Gundu mengepalai Kooe dan Kantolobea (Distrik Mawasangka), Menteri Melai mengepalai Boneoge (Distrik Gu), Menteri Lanto di Lalibo (Distrik Mawasangka), Menteri Wajo di Wajo (Distrik Gu), Menteri Tanailandu di Wasindoii (Distrik Mawasangka). Selanjutnya Lakina Boneoge di Boneoge, Madongka, Tanga, dan Matanayo (Distrik Gu), Lakina Baruta di Baruta (Distrik Gu), Lakina Mone di Lambale dan Wakuru (Distrik Gu), Lakina Lolibu di Lipumalangan II dan Tongkuno (Distrik Gu), dan Lakina Inulu di Lamena, Lagili, dan Wakengku (Distrik Mawasangka).
Dalam undang-undang kesultanan juga disebutkan Tamburu Limaanguana. Tamburu Limaanguana yaitu pasukan kehormatan sultan yang terdiri atas lima kelompok yang masing-masing kelompok memiliki nama sendiri-sendiri, salah satunya Mawasangka [6].
Keadaan Wilayah
Wilayah Kabupaten Buton Tengah berbatasan dengan:
Utara Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana
Selatan Laut Flores
Barat Teluk Bone
Timur Selat Buton
Pemerintahan
Pemerintahan Daerah
Wilayah Kabupaten Buton Tengah terdiri dari 7 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Lakudo
Kecamatan Gu
Kecamatan Sangiawambulu
Kecamatan Mawasangka
Kecamatan Mawasangka Tengah
Kecamatan Mawasangka Timur
Kecamatan Talaga Raya
Lambang Daerah
Dari setiap warna memiliki arti yang berbeda. Biru melambangkan kewibawaan, kemenangan dan masa depan yang cerah. Putih sebagai tanda kesucian hati, niat yang tulus dan rasa keadilan. Kuning tanda semangat kerja, belajar, berusaha, dan kemapanan. Hijau bermakna kemakmuran dan semangat religius. Hitam bertanda loyalitas, pengayom dan demokratis, serta merah wujud keberanian, rela berkorban, dan semangat kepahlawanan..
unsur-unsur lambang seperti bentuk perisai berupa jao-jaonga sebagai bingkai lambang merefleksikan daya tahan, keteguhan, keamanan, dan ketentraman masyarakat Buteng. Laut bermakna karakteristik masyarakat Buteng yang religius. Gunung mencerminkan kondisi geografis wilayah Buteng, sekaligus melambangkan tekad, kegigihan dan keuletan masyarakat.
Sedangkan jarum menunjukkan Buteng secara historis sebagai salah satu daerah basis pertahanan (Matana Surumba) pada masa Kesultanan Buton. Makna benteng bahwa daerah Buteng bagian dari wilayah dan budaya Buton. Lalu 5 undakan pada benteng bahwa pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup masyarakat. Pintu gerbang pada benteng berjumlah 7 merupakan lambang 7 kecamatan yang menjadi cikal bakal hingga terbentuknya Buteng.
Perahu layar dan gelombang sebagai dinamika dan spirit kemaritiman yang menjadi karakter masyarakat. Sedangkan ikan dan jambu mete pada perahu layar menandakan hasil alam yang potensial di Buteng. Padi dan kapas, melambangkan cita-cita kesejahteraan. Buku dan pena, merefleksikan kecintaan masyarakat dan keadilan yang ingin diwujudkan pada seluruh lapisan masyarakat Buteng.
Lalu, jumlah 24 bulir padi dan jumlah 7 bunga kapas melambangkan tanggal dan bulan terbentuknya Buton pada 24 Juli 2014 Makna adanya frasa Kabupaten Buteng dalam pita putih sebagai Buteng merupakan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Sosial dan Kependudukan
Penduduk
Sebagaimana halnya wilayah-wilayah lain bekas Kerajaan dan Kesultanan Buton, etnis di Buton Tengah juga beragam. Sampai saat ini para ahli belum mendapatkan kesepakatan berapa banyak sesungguhnya etnis yang ada di Buton. Namun jika melihat kelompok besarnya, di Buton Tengah didiami oleh penduduk dari etnis Buton-Gulamasta (Pancana), Moronene-Kabaena, Bajo, Muna, dan Wolio.
Agama
Umumnya masyarakat Buton Tengah memeluk agama Islam.
Pekerjaan
Masyarakat Buton Tengah berprofesi sebagai petani, nelayan, pelaut, pedagang, dan sebagian kecil bekerja di sektor pertambangan.
Ekonomi
Pertanian dan Perkebunan
Wilayah Kabupaten Buton Tengah sangat berpotensi untuk dikembangkan padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, dan kacang hijau. Padi ladang merupakan komoditas yang dapat diandalkan seperti di Kecamatan Mawasangka dengan area panen 10 Ha dengan total produksi ± 9 ton padi ladang. Kemudian di Kecamatan Gu 2.679 Ha dengan total produksi ± 537 ton jagung. Di Kecamatan Gu juga memiliki luas area pertanian singkong dengan luas area 2.679 Ha dengan total produksi ± 11.258 ton, perkebunan kapuk 56,35 Ha dengan total produksi mencapai ± 480 ton, dan perkebunan kakao seluas 32 Ha dengan total produksi mencapai ± 390 ton. Selain itu komoditas mete kualitas ekspor di Lombe telah lama mendunia. Pohon palm agel juga banyak ditemukan di Buton Tengah sebagai salah satu bahan baku kerajinan anyaman.
Perikanan
Potensi laut yang dapat dimanfaatkan yaitu perikanan dan budidaya rumput laut yang produksinya mencapai ± 13.966,34 ton.
Pertambangan
Kecamatan Talaga Raya juga menyimpan kekayaan mineral berupa tambang nikel.
Perdagangan
Secara kualitatif komoditi-komoditi potensial diperdagangkan antar pulau melalui tiga pelabuhan laut utama di Buton Tengah.
Pariwisata
Dari sektor pariwisata, beberapa objek wisata baik wisata alam, sejarah maupun budaya menjadi daya tarik tersendiri. Seperti beberapa benteng bekas peninggalan Kesultanan Buton, adat dan tradisi masyarakat Gulamasta, Mesjid Mawasangka sebagai mesjid terbesar di daerah Buton Raya, beberapa pantai pasir putih, dan juga lanskapnya yang khas.
Transportasi
Aksesibilitas
Kabupaten Buton Tengah menjadi salah satu daerah pengubung antara Kota Baubau, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Bombana.
Kabupaten Buton Tengah dapat diakses dengan cara:
Melalui laut dengan menggunakan kapal laut PELNI.
Melalui laut dengan menggunakan kapal fery dari Baubau.
Melalui laut dengan menggunakan speed boat dari Kota Baubau dan Kabaena, kabupaten Bombana.
Melalui darat dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dari Kabupaten Muna.
Pelabuhan
Terdapat tiga pelabuhan utama di Buton Tengah yaitu:
Pelabuhan Fery Wamengkoli. Merupakan salah satu pelabuhan dengan rute ‘gemuk’ di Sulawesi Tenggara. Pelabuhan ini melayani rute Wamengkoli-Baubau tidak kurang 12 kali dalam sehari. Selain kapal fery, speed boat juga ada di pelabuhan ini dan melayani 35 rute. Adanya pelabuhan yang sudah eksis sejak tahun awal abad ke-20 ini, berimplikasi pada sektor jasa yang mendongkrak pendapatan masyarakat sekitar.
pelabuhan Fery Mawasangka, yang menghubungkan mawasangka talaga
Pelabuhan Lianabanggai. Pelabuhan ini berada di Kecamatan Mawasangka Tengah. Pelabuhan ini memiliki kedalaman 15-30 meter yang direncanakan dapat dilabuhi oleh kapal PELNI maupun kapal cargo/barang lainnya.
Pelabuhan Transito. Berada di Kecamatan Talaga Raya, pelabuhan ini menjadi tempat bersandarnya berbagai macam kapal seperti kapal kayu, kapal minyak, kapal penumpang, dan juga kapal feri.
( wikipedia )